Aku serahkan diriku kepada Dzat
yang kepada-Nya bumi juga telah berserah diri
dengan memikul batu-batu yang berat
Dzat yang telah menjadikan bumi bulat
Dzat yang telah menciptakan bumi dengan sempurna
Dzat yang telah memancangkan gunung-gunung
dengan kokoh di atasnya
Aku serahkan diriku kepada Dzat
yang kepada-Nya awan-awan telah menyerahkan diri
dengan membawa air yang tawar
Ketika awan-awan itu dibawa ke suatu negeri, dia akan taat
lalu dia akan menurunkan hujan di atasnya…
Zaid bin ‘Amr bin Nufail (ayah Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu) membawakan bait-bait syair tersebut, lalu dia memandang ke arah Ka’bah seraya berucap, “Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu, wahai Tuhanku. Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu dengan sebenar-benarnya.”
Zaib bin ‘Amr bin Nufail merupakan putra dari paman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Dia hidup sebelum Islam datang dan sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dengan fitrah atau tabiatnya yang lurus, dia pun mendapat petunjuk
untuk menyembah Allah, sehingga dia tidak pernah menyembah
berhala-berhala ataupun menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada
berhala-berhala itu seperti yang biasa dilakukan oleh kaum musyrikin
di Makkah pada saat itu.
Dia pernah berkata kepada penduduk Makkah, “Wahai
kaum Quraisy, Allah telah menurunkan hujan untuk kalian, menumbuhkan
tanaman untuk kalian, dan menciptakan kambing untuk kalian, tetapi
mengapa kalian menyembelih binatang-binatang ini untuk selain Allah?
Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
Mendengar ini, Khaththab bin ‘Amr bin Nufail pun berdiri dan memukul wajahnya, lalu dia berkata kepadanya: ”Celakalah kamu, sungguh kita sudah terlalu bersabar terhadapmu.”
Selanjutnya,
Khaththab menyiksanya dengan siksaan yang pedih, hingga akhirnya Zaid
pun terpaksa keluar dari Makkah. Dia tidak pernah kembali ke Makkah,
kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Hal itu karena dia merasa takut
kepada pamannya, Khaththab ayah ‘Umar radhiallahu ‘anhu.
Di
Makkah Zaid bin ‘Amr mengadakan pertemuan dengan Waraqah bin Naufal,
‘Abdullah bin Jahsy, dan Umaimah binti Harits (bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Selain mereka, dalam pertemuan itu ada juga ‘Ustman bin Huwairits.
Zaid berkata kepada mereka, “Demi
Allah, kalian semua telah mengetahui bahwa kaum kalian telah
menyimpang dari ajaran –ajaran agama Ibrahim. Mengapa kita berthawaf
mengelilingi batu yang tidak bisa mendengar dan melihat serta tidak
dapat memberikan mudharat dan juga manfaat ? Wahai kaum, carilah agama
untuk kalian semua. Demi Tuhan, kita bukanlah apa-apa.”
Mereka
kemudian berpencar ke segala penjuru negeri untuk mencari agama yang
benar. Adapun Waraqah bin Naufal telah memeluk agama Masehi, sementara
‘Abdullah bin Jahsy dan ‘Utsman bin Huwairits masih melanjutkan
pencarian terhadap agama yang benar itu, hingga akhirnya datanglah
Islam. ‘Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu pun beriman dan masuk Islam, hingga akhirnya dia terbunuh sebagai syahid dalam perang Uhud, lalu dia dijuluki dengan julukan Asy-Syahid Al-Mujadda’ (syahid yang tangannya terpotong).
Tinggalah Zaid bin ‘Amr yang telah pergi ke negeri Syam untuk mencari agama Ibrahim ‘alaihissalam,
hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pendeta di Syam. Dia
menceritakan hal itu kepada pendeta tersebut. Sang pendeta pun berkata, “Sesungguhnya
kamu sedang mencari agama yang sudah tidak ada. Oleh karena itu,
pulanglah ke Makkah, karena sesungguhnya Allah akan mengutus kepada
kalian orang yang memperbaharui agama Ibrahim itu. Pergilah, lalu
berimanlah kepadanya dan ikutilah dia!”
Ketika Zaid masih berada dalam perjalanan menuju Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah diutus sebagai rasul. Saat itu Zaid belum mengetahui bahwa
Rasulullah telah diutus. Sayangnya, kematian telah lebih dulu
menjemputnya sebelum dia beriman. Dia telah dibunuh oleh sebagian orang
Badui (Arab pedalaman).
Ketika kisah ini diceritakan kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menceritakan tentang sosok Zaid, “ Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat (nanti) seorang diri sebagai satu umat (yang terpisah).”
Menjelang hembusan nafas terakhirnya, Zaid berkata, “Ya
Allah, jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam)
untukku, maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.”
Doa
Zaid ini masih menggantung di antara langit dan bumi, hingga pada
suatu hari ketika Sa’id sedang berada di Makkah, dia mengetahui bahwa
Rasulullah telah diutus. Karenanya, dia beserta istrinya, Fatimah binti
Khaththab, yang merupakan saudara perempuan ‘Umar bin Khaththab, segera
beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keislaman mereka berdua itu terjadi pada awal munculnya Islam, sebelum masuknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam rumah Arqam bin Abi Arqam (Daarul Arqam).
Said
masih merahasiakan keimanannya dan dia sangat sabar menghadapi siksaan
yang berasal dari kaumnya, sehingga dia pun tidak diusir dari Makkah,
seperti yang dialami sebelumnya oleh orang tuanya. Akan tetapi
kemudian, ‘Umar mengetahui keimanan Sa’id. ‘Umar pun bermaksud
membunuhnya, lalu dia memukulnya hingga darah mengalir dari wajah Sa’id
. Akan tetapi, kesabaran Sa’id dalam menghadapi sikap ‘Umar inilah
yang menjadi salah satu faktor penyebab masuknya ‘Umar radhiallahu ‘anhu ke dalam Islam.
Sa’id pergi berhijrah ke Madinah bersama istrinya, Fathimah. Sebelum terjadinya perang Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memilihnya dan mengutusnya untuk pergi bersama Thalhah bin
Ubaidillah dengan tujuan agar dia mengetahui jumlah pasukan kaum
musyrikin dan mematai gerak-gerik mereka. Oleh karena itu, Sa’id pun
tidak ikut serta dalam peperangan Badar. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memberinya bagian ghanimah (harta rampasan) yang diperoleh
dalam perang tersebut. Dia dianggap seperti orang yang ikut serta dalam
perang itu.
Setelah itu Sa’id ikut serta dalam setiap peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dia bertempur dengan menggunakan pedangnya dan beriman dengan
menggunakan hatinya. Bahkan pada suatu hari dia pernah berada bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di gua Hira’ dengan para shahabat lainnya. Ketika itu tiba-tiba gunung Hira’ bergetar, maka nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “
Tenanglah, wahai Hira’, karena sungguhnya tidak ada yang berada di
atasmu, kecuali seorang nabi, seorang yang sangat jujur (ash-shiddiq),
dan seorang syahid.”
Ketika orang-orang bertanya kepada Sa’id, “Siapa sajakah yang bersamamu pada saat itu ?”
Sa’id pun menjawab, “Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Zubair, Thalhah, ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Malik.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda tentang Sa’id, “Sa’id bin Zaid di surga.”
Sa’id merupakan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira bakal masuk surga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhoinya.
Dia memegang teguh janjinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk memerangi kaum musyrikin di negeri Persia, sehingga melalui
tangannya dan juga tangan shahabat-shahabatnya, Allah pun memadamkan api
yang menjadi sesembahan kaum Majusi ; dan berkat perjuangannya pula
para penduduk Persia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah
penaklukan terhadap negeri Persia selesai, Sa’id tidak tinggal diam.
Dia mengangkat pedang dan barang-barangnya untuk pergi ke negeri-negeri
lain yang sedang di perangi oleh kaum muslimin. Kali ini sasarannya
adalah negeri Syam dimana pada saat itu sedang berlangsung pertempuran
yang sangat menentukan antara kaum muslimin dengan bangsa Romawi,
yaitu perang Yarmuk.
Di atas kertas,
nampaknya kemenangan lebih dekat kepada pasukan Romawi, karena jumlah
mereka sangat banyak, sementara jumlah kaum muslimin sangat sedikit.
Kekalahan
bangsa Romawi berarti jatuhnya negeri Syam secara keseluruhan ke
tangan kaum muslimin. Karenanya, kedua pasukan itu pun sama-sama
mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadapi pertempuran ini.
Pasukan Romawi datang dengan jumlah personel seratus dua puluh ribu
pasukan, sedangan jumlah pasukan kaum muslimin hanya dua puluh empat
ribu pasukan saja. Kedua pasukan ini saling berhadap-hadapan.
Para
pendeta dan uskup datang sambil membawa salib-salib mereka sambil
mengeraskan suara mereka untuk membaca doa-doa. Ketakutan pun merasuk
ke dalam hati kaum muslimin ketika pasukan Romawi mengulang-ulang
doa-doa tersebut. Suara mereka laksana gunung-gunung yang bergeser dari
tempatnya.
Pemimpin kaum muslimin yang bernama Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri untuk memberikan khutbah kepada kaum muslimin. Dia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah,
tolonglah Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan
kaki-kaki kalian. Bersabarlah, sesungguhnya kesabaran akan menyelamatkan
kalian dari kekufuran dan akan menyebabkan kalian diridhai oleh Tuhan.
Tetaplah kalian diam sampai aku memberikan perintah kepada kalian.
Ingatlah selalu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Diantara kaum muslimin, keluarlah seorang laki-laki. Dia berkata kepada Abu Ubaidah, “Wahai
Abu Ubaidah, sekarang aku akan pergi dengan harapan aku dapat gugur
sebagai syahid dan aku akan keluar untuk memerangi mereka. Apakah kamu
mempunyai pesan yang akan kamu kirimkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam ?”
Abu Ubaidah menjawab, “Ya.
Kirimkan salam dari kami untuk beliau, dan katakan kepada beliau bahwa
kami telah mengetahui bahwa apa yang dijanjikan oleh Tuhan kami kepada
kami adalah benar.”
Melihat itu, Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu pun berkata, “Ketika
aku melihat lelaki tersebut telah menaiki kudanya, menghunus
pedangnya, dan melesat menuju musuh-musuh Allah guna memerangi mereka,
aku pun meletakkan lututku ke tanah, lalu aku melemparkan anak panahku
ke arah seorang anggota pasukan berkuda dari bangsa Romawi. Saat itu
Allah menghilangkan rasa takut dari dalam hatiku. Maka, aku pun
langsung masuk menembus barisan musuh. Aku memerangi mereka hingga
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemenangan kepada kami.”
Abu
Ubaidillah telah mengetahui dengan baik kesungguhan keimanan Sa’id.
Karenanya Abu Ubaidillah pun menyerahkan misi penaklukan Damaskus
kepada Sa’id, lalu dia menjadikan Sa’id sebagai wali (gubernur) disana.
Ketika semua orang yang hidup pada masanya sudah berpulang keharibaan
Allah, Sa’id bin Zaid masih tetap hidup sampai masa Dinasti Bani
Umayyah.
Masa-masa akhir hayat Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu
Pada
masa Dinasti Bani Umayyah, Sa’id bin Zaid menangisi shahabat-shahabat
Islam yang telah meninggal sebelumnya. Tinggalah dia seorang diri
menyaksikan terjadinya fitnah (kerusuhan) dan menyaksikan bagaimana
kehidupan dunia dengan segala macam perhiasannya telah masuk ke dalam
hati kaum muslimin, maka Sa’id pun lebih memilih untuk kembali ke
Madinah dan tinggal disana. Pada waktu itu yang menjadi gubernur di
Madinah adalah Marwan bin Hakam bin ‘Ash.
Saat itu seorang wanita yang bernama Arwa binti Uwais keluar, lalu dia berkata, “Sesungguhnya Sa’id telah mencuri tanahku dan telah memasukkannya ke bagian tanahnya.” Sungguh
perkataan itu sangat menyakitkan hati Sa’id bin Zaid, shahabat
Rasulullah dan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira
berupa surga. Karenanya, Sa’id pun berkata, “Ya Allah, jika dia berbohong, maka hilangkanlah penglihatannya dan bunuhlah ia di tanahnya sendiri.”
Seketika
itu pula hujan turun dari langit sampai diperbatasan tanah yang
menurut wanita itu Sa’id telah melampaui batas tersebut. Seketika mata
wanita itupun menjadi buta dan hanya selang beberapa hari, wanita itu
terjatuh dalam sebuah lubang yang berada di tanah miliknya hingga dia
meninggal dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doa Sa’id bin Zaid yang terzhalimi dan telah dituduh sebagai seorang pembohong dan pendusta.
Pada suatu pagi penduduk Madinah dikagetkan oleh suara seorang pelayat yang menangisi kepergian Sa’id bin Zaid radhiallahu ‘anhu.
Peristiws itu terjadi pada masa kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan,
tepatnya pada tahun ke-50 Hijriyah. Dia di kuburkan oleh Sa’ad bin Abi
Waqqash radhiallahu ‘anhu dan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Salam sejahtera baginya.
Sumber:Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006